Sebenarnya artikel ini mungkin lebih tepat diberi judul “Introduksi mengenai Musik Dunia Barat dan Perkembangannya,” sebab tema sejarah musik adalah tema yang terlalu luas. Namun lewat artikel ini saya berharap dapat memberikan sedikit insight terhadap semangat zaman, konsep-konsep, serta filsafat yang mendasari perkembangan musik Eropa dalam lima zaman yang besar. Di edisi ini kita akan membahas zaman Renaissance dan Baroque, dan di edisi berikutnya kita akan melihat zaman Klasik, Romantik, dan Modern. Zaman Renaissance (ca.1300-1600)
Seperti semua periode kultural yang lainnya, pembatasan tahun periode Renaissance bersifat tidak mutlak—suatu zaman terlalu kompleks dan rumit untuk dapat dibatasi dalam hitungan tahun. Kata renaissance berarti rebirth— diatributkan untuk periode ini oleh seorang sejarawan Perancis abad ke-19, Jules Michelet. Gerakan Renaissance bernama demikian karena gerakan ini melahirkan kembali ide-ide dan pemikiran-pemikiran dari zaman Greco-Roman yang sudah begitu lama hilang dari Eropa, misalnya pemikiran dari filsuf-filsuf seperti Plato, Aristoteles, atau ahli retorika seperti Cicero atau juga Quintillianus yang tersimpan di dalam banyak teks Latin kuno di perpustakaan Ordo Monastik di
Eropa, juga dari teks Latin yang diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa
lain. Semangat zaman ini adalah apa yang sekarang disebut Humanisme,
meskipun pada zaman tersebut filsafat di balik semangat itu tidak harus
diartikan sebagai semangat untuk menjadikan manusia sebagai pusat segala
sesuatu dan “menurunkan” Tuhan. Memang semangat gerakan ini akhirnya
melahirkan Aufklärung yang
jelas melawan Alkitab, tapi pada awalnya semangat Humanisme lebih dekat
dan sangat dipengaruhi oleh kekristenan. Manusia bukan lagi makhluk
yang kotor dan rusak belaka (seperti yang diajarkan gereja yang tidak
bertanggung jawab pada zaman Dark Ages), tapi juga adalah manusia yang mempunyai dignity sebagai peta dan teladan Allah. Sayangnya keseimbangan ini tidak bertahan lama dan akhirnya terjeblos ke dignity tanpa humility, yaitu Humanisme modern. Istilah humanis sendiri dalam zaman Renaissance dimengerti sebagai orang yang mendalami suatu sistem kurikulum edukasi dalam bidang-bidang yang sudah ada sejak zaman Medieval, seperti Dialektika, Gramatika, Retorika, dan juga Musik, tapi dipelajari dalam pengertian yang digali dari apa yang disebut primary source—dalam hal ini pemikiran para filsuf Greco-Roman. Gerakan Reformasi yang terjadi di periode pertengahan-akhir zaman Renaissance sedikit banyak mendapatkan pengaruh dari pemikiran Humanisme. Martin Luther, misalnya, mendapatkan sistem edukasi humanis. Namun Luther kemudian menjadikan Alkitab sebagai primary source—lahirlah back to the Bible. Seni suatu zaman merupakan cermin semangat zaman tersebut,
sebab budaya suatu zaman tertuang dari semangatnya. Misalnya,
kebangkitan retorika klasik mempunyai efek yang merambat ke dalam
literatur, puisi juga drama yang mengikuti bentuk retorika klasik.
Kebangkitan prinsip simetri dan proporsi dari zaman Greco- Roman tercermin di dalam arsitektur Renaissance. Donato Bramante, seorang arsitek Renaissance, membangun suatu Tempietto (semacam bangunan kecil untuk memorial para martir) di gereja San Pietro di Montorio yang mengambil konsep arsitektur dari zaman Roma, Temple of Vesta. Konsep simetri dan proporsi juga mempengaruhi l u k i s a n - l u k i s a n Renaissance:
para pelukis menggambarkan struktur dan proporsi manusia dengan lebih
akurat; kisah yang sudah sering diketahui adalah bagaimana Michelangelo
sampai meneliti mayat manusia untuk dapat mengerti anatomi manusia
secara tepat sehingga lukisannya mempunyai akurasi yang sangat tepat.
Roman Architecture Temple of Vesta & Renaissance Architecture Tempietto San Pietro of Montorio
Bagaimana dengan musik? Kita akan membandingkan konsep dasar tentang musik ini dari pemikiran masa kini dengan zaman Renaissance. Pengertian tentang musik pada zaman Renaissance adalah pengertian yang didefinisikan melalui hubungan numeral, bukan aural seperti pada zaman ini.1 Sebagai contoh kita akan melihat interval.
Kalau not “do” dan “do tinggi” dibunyikan bersamaan, kita menilai suara itu sebagai konsonans2 karena terdengar enak.
Kalau sekarang kita menyanyikan do dan re, do dan mi, do dan fa, dan
seterusnya sampai do ke do tinggi kita akan menemukan 5 konsonans dan 2
disonans. Dalam zaman Renaissance, hanya ada 2 konsonans di dalam 7 kombinasi tersebut, oktaf dan fifth. Pada zaman Renaissance interval
oktaf yang tadi dinilai konsonans bukan karena kualitas auralnya, tapi
akan dinilai secara numeral: perbandingan frekuensi dari dua not dalam
oktaf tersebut adalah 2:1, hal ini dilihat baik secara angka kalau
dibandingkan dengan misalnya “do” ke “mi” yang perbandingan frekuensinya
5:4, tentunya karena 2:1 lebih bulat daripada 5:4. Relasi numeral dalam
interval musik ini adalah hasil pemikiran Phytagoras yang diaplikasikan
ke dalam musik. Hal ini berlanjut ke dalam teknik komposisi dalam musik
Renaissance. Pada zaman Renaissance para komponis tidak
menggubah berdasarkan prinsip harmoni (teknik komposisi harmoni seperti
yang sekarang kita mengerti baru lahir di zaman Baroque) melainkan dengan apa yang kita sebut sebagai counterpoint3, yaitu
secara singkat adalah teknik komposisi yang berfokus ke dalam relasi
antara dua melodi atau lebih. Saya dulu pernah mencoba membayangkan
musik di sorga sewaktu saya masih kecil (harap maklum pemikiran ini
didasari konsep sorga anak-anak). Saya pikir, musik di sorga pastilah
musik yang sempurna, maka pasti bukan musik dunia yang adalah melodi +
iringan (harmoni).
Mungkin,
pikir saya, musik sorgawi adalah semuanya melodi, tapi semuanya
berharmoni bersama-sama. Tidak ada iringan yang lebih “rendah” atau
lebih “membosankan” dari melodi: semuanya melodi, sama rata, tapi juga
saling melengkapi. Puji Tuhan, saya terbukti salah sehingga tidak perlu
menunggu langit dan bumi yang baru untuk menikmati musik seperti
demikian. Inilah musik counterpoint, bukan melodi yang diiringi oleh nada-nada yang subordinate terhadap melodi tersebut, tapi beberapa melodi yang saling berharmoni!
Musik harmoni pada umumnya digubah langsung dari mula sampai akhir, melodi dan harmoni digubah bersamaan. Musik counterpoint tidak demikian; musik jenis ini biasanya berasal dari satu melodi terlebih dahulu, yang disebut dengan cantus firmus, lalu kemudian ditambahkan melodi-melodi yang lainnya yang materi melodinya mengambil dari cantus firmus tersebut.
Seperti yang bisa dilihat di gambar di atas, melodi sopran dan alto
mengambil materinya dari melodi tenor, yang dalam kasus ini merupakan cantus firmus. Dietrich
Bonhoeffer pernah menjelaskan prinsip kasih menggunakan konsep musik
ini. Kasih kita kepada Kristus dianalogikan sebagai cantus firmus, dan kasih kita terhadap sesama manusia adalah melodi-melodi yang lain, yang dibentuk berdasarkan pola cantus firmus tersebut.
Sewaktu saya membahas jenis musik ini di Melbourne, reaksi dari
pemuda-pemudi yang mendengarkan musik ini pada umumnya memberikan respon
yang sangat kagum dan merasa musik sejenis ini begitu indah, begitu
kaya, begitu sempurna. Tapi apakah musik sejenis ini boleh kita pakai di
dalam ibadah (arti luas dan arti sempit) kita? “Tentu saja. Musik ini
begitu tinggi dan baik,” kata mereka. Tetapi apa meaning yang kalian dapat dari kata-kata lagu-lagu tersebut? Penulisan lagu Kyrie Eleison (Lord, have mercy) dan Gloria in Excelsis Deo (Glory to God in the highest) misalnya, karena mempunyai cantus firmus yang
sama tidak terdengar terlalu berbeda, sehingga meskipun musik-musik ini
terdengar begitu indah dan kaya, kita tidak begitu jelas meaning dari lagu ini, apakah sedang meminta ampun atau sedang memuji keagungan Tuhan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Musik Renaissance adalah musik yang boleh dibilang dikonstruksi secara form over function.
Pada zaman tersebut terobosan-terobosan musik dalam teknik komposisi
lebih memprioritaskan struktur dan konstruksi, dan belum (bukannya tidak
sama sekali) memperhatikan ekspresi dan arti. Musik Renaissance bukannya
berubah dari mementingkan ekspresi lalu turun derajat sehingga hanya
ingin mementingkan musik. Namun apakah kita boleh memakai ini di ibadah?
Tentu saja, karena kemuliaan Tuhan tidak dibatasi oleh bahasa manusia!
Kalau seandainya kita hanya boleh memakai seni yang keindahannya hanya
bisa dimengerti secara linguistis, maka kita tidak boleh lagi
memakai gedung gereja, tidak boleh lagi menikmati alam, tidak boleh lagi
bersyukur kita masih bisa bernapas, dan lain lain. Seringkali pola
berpikir manusia yang sempit mengakibatkan banyak orang menilai baik
tidaknya musik hanya dari teksnya, apakah Alkitabiah atau tidak,
sementara musiknya sendiri adalah netral. Rick Warren dalam bukunya
“Purpose Driven Church” juga melakukan kesalahan yang sama. Di buku itu ia mengatakan, “There is no Christian music, there are only Christian lyrics.”4
Tapi siapakah kita sehingga kita berani mengatakan bahwa prinsip Firman
Tuhan tidak ada di dalam keteraturan alam semesta, di dalam konstruksi
tubuh manusia, dan juga dalam musik instrumental, meskipun hal hal
demikian tidak secara eksplisit membawa firman Tuhan? Bukankah
keteraturan pun adalah prinsip Alkitab? Prinsip komposisi cantus firmus dan counterpoint, misalnya, jelas menggunakan prinsip Alkitab: unity in diversity. Setiap suara begitu diverse dan distinct,
namun mereka bersatu dan saling melengkapi dengan begitu indah. Sama
seperti 66 kitab dalam Alkitab: semua begitu unik dan punya purpose yang
berlainan, namun tidak ada satu hal yang berkontradiksi di dalamnya.
Kita bukan modernis, yang mengatakan persatuan sebagai uniformity:
semua harus sama persis. Kita juga bukan postmodernis yang anarkis dan
kacau balau. Kita adalah tubuh Kristus, masing-masing unik dan berbeda,
tapi bersatu untuk mengerjakan satu hal bersama-sama, yaitu kehendak
Sang Kepala. Konsep dasar konstruksi inilah yang seringkali dilewatkan
oleh banyak orang. Jelas kita tidak akan menggunakan musik yang liriknya
tidak Alkitabiah, tapi seperti suatu buku tidak boleh dinilai dari covernya saja, demikian musik juga tidak boleh hanya dinilai dari segi fenomenanya. Dalam hal ini musik Renaissance yang
memuji Tuhan sangat boleh digunakan dalam ibadah, tetapi jemaat harus
dipersiapkan dan dididik untuk mengerti musik-musik tersebut.
Penulis Jethro Rachmadi Pemuda MRII Melbourne
Tidak ada komentar:
Posting Komentar